ALIH FUNGSI LAHAN HUTAN UNTUK PERKEBUNAN PERSPEKTIF KEBIJAKAN
Abstract
Kebijakan alih fungsi lahan hutan untuk perkebunan merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi keadaan hutan yang rusak/kritis, sebab selain cepat mendatangkan pendapatan asli daerah dari berbagai retribusi maupun pajak juga masuknya industri perkebunan menciptakan lapangan pekerjaan yang cukup besar. Berlandaskan kebijakan dan kewenangan yang diberikan perundang undangan berdasarkan asas otonomi daerah, maka pemerintah daerah diberikan kewenangan dalam mengatur dan mengelola sumber daya alam termasuk sektor perkebuan diterjemahkan dalam bentuk kebijakan. Kebijakan alih fungsi lahan hutan untuk perkebunan yang diberlakukan pemerintah daerah dengan paradigma pembangunan kapitalistik yang lebih menekankan kepada aspek ekonomi tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat adat telah menimbulkan implikasi yang serius. Implementasi kebijakan alih fungsi lahan hutan untuk perkebunan ternyata menimbulkan konflik baik konflik norma maupun konflik kepentingan. Secara langsung maupun tidak langsung, dikotomi kepentingan-kepentingan ini menempatkan masyarakat adat pada posisi marginal. Hal ini membuat masyarakat terdesak dengan pilihan terbatas dan mendorong mereka menjauhi akses-akses sumber daya hutan yang selama ini mereka kuasai. Oleh karena itu salah satu rekomendasi dari tulisan ini adalah merekonstruksi kembali kebijakan, hal ini dapat dilakukan dengan pembangun hubungan secara interaktif, sehingga kebijakan yang dihasilkan akan mampu mengkomunikasikan kepentingan yang ada, yaitu kepentingan negara pada satu sisi dan kepentingan pengusaha maupun masyarakat adat pada sisi lainnya.